Wah..wah nggak nyangke euy.. ternyata pengunjung blog ini masih banyak, pada nemu di search engine google, padahal saya sama sekali nggak ngepromosiin blog ini.
moga bisa bermanfaat
oh yah terakhir kalo ngerasa artikel ini bermanfaat, tolong pisan yah.. klik iklannya.. sebagai tanda persahabatan.. okey.. biar sama-sama menguntungkan... thx..
Manusia pada dasarnya selalu berkomunikasi. Segala gerak-gerik, tingkah laku, dan perbuatan kita dapat dimaknai oleh orang lain. Tentunya agar dapat berkomunikasi dengan baik dan memahami lawan bicara kita, kita memerlukan teori. Dari sebuah fenomena yang ada akan lahir sebuah konsep. Kemudian dari konsep itu berkembang sebuah proposisi (pernyataan yang bisa dinilai benar atau salahnya. Lalu setelah diuji proposisi menjadi fakta; fakta menjad teori, dan akhirnya lahirlah suatu ilmu.
Apa itu teori? Teori merupakan sekumpulan pernyataan yang saling terkait, sistematis, logis, faktual, dan objektif tentang suatu fenomena tertentu yang tujuannya adalah untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol fenomena tersebut.
Lebih lanjut, teori komunikasi bertujuan untuk meningkatkan pemahaman kita tentang proses berlangsungnya suatu tindakan atau peristiwa komunikasi (communication problem solving). Dengan pemahaman yang lebih baik kita berada dalam posisi yang lebih baik untuk meramalkan dan mengontrol hasil-hasil dari tindakan komunikasi kita.
Saat ini telah berkembang 268 teori komunikasi. Jumlah ini masih mungkin bertambah mengingat masih ada teori yang butuh penelitian lebih lanjut. Teori yang akan dibahas di sini adalah value-expectancy theory, sebuah teori yang dikembangkan oleh psikolog terkemuka, Martin Fishbein dan Icek Ajzen pada awal tahun 1970-an.
A. Sejarah Teori
Teori nilai harapan (value-expectancy theory) dikemukakan oleh Dr. Martin Fishbein pada awal tahun 1970-an. Teori ini pertama kali dijelaskan dalam buku Martin Fishbein dan Icek Ijzen tahun 1975 yaitu Belief, Attitude, Intention, and Behaviour: An Introduction to Theory and Research. Penelitian teori ini juga dapat dilihati dalam disertasi Fishbein yakni A Theoretical and Empirical Investigation of the Interrelation between Belief about an Object and the Attitude toward that Object (1961, UCLA). Teori ini juga dijelaskan dalam dua artikel lainnya tahun 1962 dan 1963 dalam jurnal Human Relations. Penelitian Fishbein dituliskan oleh peneliti lain seperti Ward Edwards, Milton Rosenberg, dan John B. Watson.
Dr. Martin Fishbein adalah seorang Profesor Kehormatan dari Harry C. Coles Jr. di jurusan Komunikasi Annenberg School for Communication dan Direktur Health Communication Program (Program Komunikasi Kesehatan) di Annenberg Public Policy Center. Di samping value-expectancy theory, beliau juga penggagas theory of reasoned action. Dr. Fishbein menerbitkan 200 artikel dan bab dalam buku profesionan dan jurnal, serta mengarang dan mengedit enam buku.
Penelitian Dr. Fishbein terdiri dari teori sikap dan tindakan, komunikasi dan persuasi, prediksi dan perubahan tingkah laku. Ia meneliti di lapangan dan laboratorium terdiri dari penelitian terhadap keefektifan dari tingkah laku kesehatan. Beliau adalah pimpinan Society Consumer Psychology and the Interamerican Psychological Society.
B. Pengertian Teori
Value-expectancy theory adalah salah satu teori tentang komunikasi massa yang meneliti pengaruh penggunaan media oleh pemirsanya dilihat dari kepentingan penggunanya. Teori ini mengemukakan bahwa sikap seseorang terhadap segmen-segmen media ditentukan oleh nilai yang mereka anut dan evaluasi mereka tentang media tersebut.
Teori ini merupakan tambahan penjelasan dari teori atau pendekatan “uses and gratifications” adalah dijelaskannya teori yang mendasarkan diri pada orientasi khalayak sendiri sesuai dengan kepercayaan dan penilaiannya atau evaluasinya.Intinya, sikap kita terhadap sejumlah media akan ditentukan oleh kepercayaan tentang penilaian kita terhadap media tersebut. (Palmgreen dkk. dalam Littlejohn, 1996:345) membatasi gratification sought (pencarian kepuasan) berkaitan dengan apa yang diberikan media serta evaluasi kita terhadap isi media tersebut. Jika kita percaya bahwa film India dapat memberikan hiburan terhadap kita, dan kita menilai hiburan tersebut termasuk bagus (misalnya bersifat edukatif), maka kita akan mencari kepuasan dengan menonton film India tersebut sebagai hiburan. Itu contohnya. Juga sebaliknya, jika kita menilai film India sebaliknya dari itu, maka kita tidak akan menontonnya.
Film-film televovela dari Amerika Latin yang sekarang banyak ditayangkan oleh televisi swasta, banyak disukai oleh kaum hawa, terutama ibu-ibu rumah tangga. Itu sebuah fenomena. Dari fenomena tersebut, bisa diguga bahwa kaum hawa menilai positif kehadiran film-film tersebut. Padahal jika kita menilik alur ceritanya, banyak peristiwa budaya yang sama sekali tidak rasional dan bahkan sangat bertentangan dengan pola budaya di Indonesia. Dilihat dari aspek rasionalitas ceritanya juga sangat banyak yang aneh-aneh atau ganjil. Dramatisasinya sangat bertele-tele, dsb. Namun demikian, toh kaum hawa masih tetap menyukainya. Mungkin sebagian dari kita kaum laki-laki juga banyak yang menyukainya. Tampaknya masalah hiburan tidak selalu mempertimbangkan aspek rasionalitas dan logika cerita.
Contoh lain, bila kita percaya bahwa segmen gosip akan menghadirkan hiburan bagi kita, dan kita senang dihibur, maka kita akan memenuhi kepentingan kita dengan menonton/mendengar/ membaca acara gosip. Di pihak lain bila kita percaya bahwa bergosip itu termasuk bergunjing dan melihatnya sebagai hal yang negatif, dan kita tidak menyukainya, kita akan menghindar diri dari menonton/ mendengar/ membacanya.
Klandersman dalam value-expectancy theory nya menyatakan bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi nilai (value) dari hasil yang diharapkan dari sebuah perbuatan. "Individual's behavior is a function of the value of expected outcomes of behavior" (Klandersman,1997,h.26). Perilaku seseorang akan menghasilkan sesuatu, semakin tinggi nilai yang diharapkan, semakin tinggi pula keinginan untuk mewujudkan perilaku tertentu.
Teori ini mengandung dua komponen yaitu nilai (value) dari tujuan yang akan dicapai dan harapan (expectancy) agar berhasil mencapai tujuan itu. Dari dua komponen tersebut oleh Keller dikembangkan menjadi empat komponen. Keempat komponen model pembelajaran itu adalah attention, relevance, confidence dan satisfaction dengan akronim ARCS (Keller dan Kopp, 1987: 289-319). Model pembelajaran ini menarik karena dikembangkan atas dasar teori-teori belajar dan pengalaman nyata para instruktur (Bohlin, 1987: 11-14).
C. Konsep Utama Teori
Value-expectation theory memiliki tiga komponen dasar yakni:
1. Individu merespon informasi baru tentang suatu hal atau tindakan dengan menghasilkan suatu keyakinan dari hal atau tindakan tersebut. Bila keyakinan sudah terbentuk, itu dapat dan seringkali berubah dengan informasi baru.
2. Setiap individu memberikan sebuah nilai (value) pada setiap sifat di mana keyakinan tersebut tergantung/berdasar.
3. Sebuah harapan (expectation) terbentuk atau termodifikasi berdasarkan hasil perhitungan antara keyakinan (beliefs) dan nilai-nilai (values)
Sebagai contoh, seorang mahasiswa menemukan bahwa seorang profesor memiliki sifat humoris. Mahasiswa tersebut memberikan nilai positif pada humor di kelas, jadi mahasiswa tersebut memiliki harapan bahwa pengalamannya dengan profesor akan positif. Ketika mahasiswa menghadiri kelas dan menemukan sang profesor humoris, mahasiswa tersebut akan memperhitungkan bahwa itu adalah kelas yang baik.
Fishbein dan Azjen (1975) memberikan persamaan untuk teori ini sebagai berikut:
Philip Palmgreen memodernisasikan teori ini dengan rumus sebagai berikut:
Gsi = ∑biei
Keterangan:
Gsi = gratification sought (pencarian kepuasan)
bi = belief (keyakinan)
ei = evaluation (evaluasi)
Penggunaan: Ketika memperoleh pengalaman dengan suatu media, kepuasan yang diperoleh akan memengaruhi keyakinan, menguatkan pola yang terlihat. Philip Palmgreen
D. Penerapan Teori
Salah satu kegunaan value-expectancy theory adalah dalam pendekatan persuasi (persuasion approaches). Berdasarkan teori ini kita mengharapkan sesuatu untuk mengontrol sikap kita (e.g. Fishbein & Ajzen, 1975; Rosenberg, 1956). Memengaruhi seseorang meliputi mengubah nilai yang mereka harapkan untuk diterima. Sebagai contoh, jika kita mengharapkan hasil yang baik dari pendapat namun seseorang meyakinkan kita bahwa pendapat tersebut tidak bagus, maka kita akan mengubah isi dari pendapat tersebut.
Ada dua penjelasan utama mengapa seseorang mengubah pendiriannya.
Konsistensi Afektif-Kognitif (Affective-Cognitive Consistency). Teori ini menyatakan bahwa pengaruh dan kesadaran kita mengenai suatu hal terdiri dari dua aspek. Affect meliputi sikap kita, bagaimana suatu hal terasa menyenangkan. Cognitions kepercayaan yang berhubungan dengan objek. Jika kita percaya konsekuensi yang baik akan didapat dari pendapat, kita akan memakai pendapat itu. Affective-Cognitive Consistency menjelaskan hukum sikap kognitif: jika kita mengubah kepercayaan seseorang tentang pendapat, sikapnya akan berubah secara otomatis dalam kesamaan tujuan dan tingkat sesuai dengan perubahan keyakinan. Sebagai contoh, kita dihadapkan pada pilihan bahwa mendapat nilai yang tinggi akan lebih sulit saat ujian akhir, kita akan mengubah kebijakan saat ujian dan lebih konsentrasi pada tugas. Sebaliknya jika kita yakin ujian berarti nilai rendah dan banyak tekanan kita akan bersikap sebaliknya.
Konsistensi kognitif tidak hanya mengubah keyakinan untuk menghasilkan perubahan pada sikap, tetapi juga menyebabkan perubahan sikap-sikap untuk menuntun perubahan keyakinan. Rosenberg (1960) membuat sebuah penelitian untuk menguji ide ini. Ia menghipnotis orang dan mengubah sikap mereka. Dia menemukan bahwa ketika sikap berubah dari senang menjadi tidak senang, individu akan memproses untuk mengubah keyakinan tentang suatu program dari baik ke buruk. Mereka melakukannya dengan lengkap. Tak ada orang yang mengatakan,”Program ini akan menghasilkan efek buruk “ Penelitian ini menunjukkan bukti meyakinkan bahwa kita mencoba untuk membuat perasaan dan keyakinan kita tentang suatu hal tetap konsisten.
Penelitian lain menemukan bahwa ketika seseorang mengajukan pendapat dan pembicara meyakinkan bahwa ada banyak konsekuensi buruk dari pendapat, individu akan mulai yakin bahwa konsekuensi baik akan terjadi sedikit, kita tak ragu bahwa hal tersebut akan menghasilkan hal baik dari hubungan sebelumnya. Penelitian juga menunjukkan menyetujui konsekuensi baik tidak sama dan tidak seefektif menyetujui konsekuensi buruk. Faktanya, pendengar menyukai pembicara yang mengatakan konsekuensi baik. Strategi dasar dalam persuasi adalah dengan meyakinkan seseorang bahwa pemikiran mereka tidak berhubungan dengan pendapat. Sebagai contoh orang tidak pernah berpikir bahwa ketika mereka mengevalusi hasil ujian itu akan menambah stress. Orang jarang berpikir mereka salah. Mereka cenderung mengubah keyakinan mereka sendiri setelah menemukan hasil buruk dari pendapat. Pernyataan bahwa hasil lebih tinggi tak akan diperoleh dari sistem baru akan kurang efektif dibandingkan memberikan ide bahwa ujian tengah semester akan lebih berat.
Ide yang sama dapat diterapkan pada seseorang yang ingin meyakinkan penerima pendapat. Penerima yakin konsekuensi buruk akan timbul. Di lain pihak pembicara yakin akan timbul konsekuensi baik. Di sini terjadi dua pendapat yang berbeda. Akan menjadi lebih baik untuk memberikan si penerima dengan fakta-fakta tentang konsekuensi baik dan membiarkan dia menerima banyak tekanan dan kemungkinan buruk. Dibandingkan dengan meyakinkan penerima bahwa tekanan tinggi tidak akan berhasil mengubah nilai ujian, pembicara harus menekankan bahwa akan terjadi hasil baik. Tentu saja orang tersebut tak perlu bertanya langsung tentang kemungkinan konsekuensi buruk. Apa yang kita katakan belum tentu strategi baik bagi pendapat sukarelawan yang menyayangkan keyakinan penerima. Dengan membiarkan sendiri si penerima mengubah keyakinannya, sebenarnya pembicara telah mengajak dalam pesan. Penerima bebas untuk tidak berbicara atau menyatakan secara tidak langsung (Infante 1975c).
Teori Pembelajaran (Learning Theory). Ini merupakan penjelasan kedua untuk persuasi dalam kerangka value-expectancy. Ide di sini ialah kita mempelajari untuk menghubungkan konsekuensi dengan pendapat, karakteristik seseorang, perlengkapan dengan objek (Cronkhite, 1969). Perasaan mendatangkan dengan sebuah konsekuensi menjadi terhubungkan dengan pendapat tersebut. Pendapat tersebut dapat diidentifikasi dalam berbagai emosi. Menyebutkan pendapat akan menimbulkan emosi yang luar biasa. Empat konsekuensi – hasil yang lebih rendah, lebih banyak tekanan, lebih banyak ujian akhir, dan sedikit kesempatan untuk meraih nilai rata-rata – dapat dikondisikan pada pendapat kita untuk mengubah kebijakan pada ujian akhir. Sikap penerima akan mewakili total dari perasaan negatif dari empat konsekuensi. Ide ini timbul dari kondisi klasik dalam psikologi. Dalam percobaan Pavlov, seekor anjing datang menanggapi bel bersamaan saat ia menanggapi bubuk daging di mulutnya, ia pun mengeluarkan air liur. Menanggapi bubuk daging yang terhubung pada bel dengan menempatkan bubuk di mulut anjing dengan segera setelah membunyikan bel. Beberapa saat kemudian, anjing tersebut mengeluarkan air liur sebagai tanggapan terhadap bel. Tak bisa dipungkiri bahwa proses ini mirip persuasi.
Dalam iklan konsekuensi terdiri dari pendapat dalam harapan terhadap reaksi orang-orang akan terkondisikan pada pendapat tersebut. Jika tercipta kondisi yang sukses, pendapat tersebut akan menghasilkan reaksi khalayak yang akan sama dengan reaksi mereka untuk menghubungkan elemen-elemen. Menyebutkan sebuah perubahan dalam kebijakan menghadapi ujian akhir memiliki efek yang sama dengan menyebutkan kemungkinan dalam kualitas lebih rendah, lebih banyak tekanan, lebih banyak soal ujian, dan sedikit kemungkinan mengubah nilai rata-rata. Pengkondisian akan memungkinkan untuk menimbulkan ketidaksenangan khalayak tanpa disertai keperluan untuk mengulang konsekuensi.
Persuasi meliputi pengkondisian perasaan baru pada pendapat dan membolehkan yang tak diinginkan sebelumnya dengan menghubungkan pada kelemahan. Tujuannya adalah untuk memusnahkan hubungan antara pendapat dan hubungan sebelumnya. Sebagai contoh seseorang mencoba seseorang untuk mengubah keyakinan kebijakan pada ujian akhir, bahwa ada tiga konsekuensi yang timbul dari pendapat tersebut: lebih sedikit tekanan pada akhir semester, lebih banyak waktu untuk melakukan aktivitas lain, dan lebih sedikit begadang. Ini merupakan konsekuensi baru yang penerima belum mempertimbangkan sebelumnya. Ide ini adalah sikap seseorang dikontrol oleh keyakinan yang terkuat atau lebih penting (Fishbein dan Ajzen, 1975). Jika seseorang meyakini khalayak tentang tiga konsekuensi baik, keyakinan baru akan menjadi seorang penerima akan lebih disadari, dan mereka didorong keyakinan yang lebih awal untuk level kesadaran yang lebih rendah. Jika penerima kurang menyadari keyakinannya, keyakinan tersebut memiliki efek yang kurang pada kesadaran penerima.
Di samping menambahkan keyakinan baru pada pemikiran penerima tentang sebuah pendapat, seseorang dapat menambah kepercayaan pada keyakinan lama. Seorang penerima yang melawan kebijakan baru ujian akhir akan memiliki keyakinan tentang konsekuensi baik seperti lebih banyak waktu luang untuk mencari pekerjaan musim panas. Tetapi keyakinan tersebut belum tentu seyakin keyakinan tentang konsekuensi buruk seperti hasil rendah dalam ujian. Strategi dilakukan untuk membuat khalayak lebih sadar akan keyakinannya, sekaligus mengurangi kesadaran pada keyakinan negatif.
Kita perlu membuat keyakinan baik lebih menjulang karena dua alasan. Pertama, pembicara dapat menyajikan fakta-fakta dan berbagai alasan untuk mendemonstrasikan mengapa konsekuensi baik akan terjadi jika pendapat itu diterapkan. Kedua, pembicara dapat menunjukkan bagaimana pentingnya konsekuensi baik akan terjadi pada penerima dan teman-temannya. Khalayak menjadi kurang sadar pada keyakinan negatif karena pemikiran akan menjadi sadar hanya dengan banyak hal pada satu waktu. Sesuai affective-cognitive consistency theory, pembicara dapat menghindari menyebutkan keyakinan negatif karena mereka akan lebih menonjol jika pembicara memikirkan tentang mereka. Sesuai dengan learning theory, keyakinan paling atas akan menentukan sikap seseorang.
E. Model-model value-expectancy theory
Ada beberapa model value-expectancy:
1. Value-expectancy model of attitudes I (Fishbein dan Ajzen, 1976)
Berdasarkan model ini seseorang memegang banyak keyakinan tentang sikap suatu objek, suatu objek terlihat memiliki banyak sifat. Menghubungkan dengan setiap sikap adalah respon yang evaluatif (contoh: sikap). Dengan proses pembelajaran, respon evaluatif menghubungkan dengan sikap suatu objek.
2. Value-expectancy theory model of attitudes II (Fishbein dan Ajzen, 1976)
Ao = (biei)
Keterangan:
Ao = attitude (sikap) terhadap objek (O)
bi = belief (keyakinan) tentang sifat objek
ei = evaluasi dari suatu sikap
Keyakinan adalah kemungkinan subjektif dari seseorang (objek) tentang sifat orang lain (contoh: Bill Clinton pembohong). Evaluasi adalah penilaian sifat berdasarkan berapa dimensi evaluasi (contoh: baik/buruk diukur dari skala 1 sampai 7)
3. Value-expectancy theory model of attitudes III (Fishbein dan Ajzen, 1976)
Sikap (attitude) seseorang merupakan penjumlahan dari produk setiap keyakinan (belief) dikali nilai evaluasinya (evaluation). Keyakinan dipegang dalam sebuah jenjang (tingkatan). Suatu sikap ditentukan dalam setiap waktu yang diberikan dengan lima sampai sembilan keyakinan yang paling menonjol dalam jenjang keyakinan seseorang.
Tipe-tipe keyakinan:
Descriptive belief berdasarkan keyakinan langsung
Inferential belief keyakinan dari keyakinan lain
Informational belief info dari sumber luar
F. Penggunaan Terbaru
Pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, Fishbein dan Ajzen mengembangkan value-expectancy theory menjadi theory of reasoned action. Kemudian Ajzen menjelaskan theory of planned behavior dalam bukunya Attitudes, Personality, and Behavior (1988). Kedua teori tersebut menunjukkan prediksi dan memiliki kelemahan. Value-expectancy theory masih merupakan teori terkemuka di berbagai bidang seperti penelitian komunikasi kesehatan, pemasaran, dan ekonomi. Walaupun tidak digunakan sebanyak pada awal 1980-an, value-expectancy theory masih digunakan dalam berbagai bidang penelitian, seperti periklanan, (Shoham, Rose, & Kahle 1998; Smith & Vogt, 1995), perkembangan anak-anak (Watkinson, Dwyer, & Nielsen, 2005), pendidikan (Eklof, 2006; Ping, McBride, & Breune, 2006), komunikasi kesehatan (Purvis Cooper, Burgoon, & Roter, 2001; Ludman & Curry, 1999), dan komunikasi organisasi (Westaby, 2002).
Bagan theory of reasoned action dan theory of planned behavior dalam kerangka value-expectancy theory:
Teori ini sangat penting untuk mengetahui expectancy (harapan), values (nilai-nilai), beliefs (keyakinan), attitude (sikap), dan juga gratification sought (pencarian kepuasan). Dalam ilmu komunikasi teori ini sangat bermanfaat khususnya dalam mengetahui sikap seseorang dan nilai-nilai yang dianut. Teori ini telah digunakan untuk mendukung berbagai teori lain dan masih digunakan saat ini dalam berbagai bidang pembelajaran.
Teori ini masih memiliki kekurangan dan membutuhkan berbagai pnelitian untuk menguji teori ini. Teori ini menggunakan ilmu psikologi sehingga tingkat subjektivitas masih bisa ditemui. Walaupun demikian teori ini memiliki banyak kekuatan dan bisa mendukung teori lainnya. Terbukti value-expectancy theory masih terus digunakan hingga saat ini.
5 komentar:
Apik boss
salam...boleh x pakai teori nie untuk kepolehpercayaan menggunakan internet
mau daftar pustakanya dunk :)
thx b 4
alangkah lebih baiknya jika disertakan daftar pustaka gan
mamrii gan mampirr
Posting Komentar
silakan komentarnya..
kalo gak punya blog, pilihnya name/url.. urlnya kosongin aja.. okey.. thx a lot